Senin, 22 Februari 2016

Gentle birth, Mengembalikan fitrah melahirkan

Apa yang terlintas di benak kamu ketika mendengarkan kata melahirkan? Entah bagaimana melahirkan saat ini identik dengan kesakitan. Akibatnya ibu-ibu baru nih pasti parno dan cemas ketika membahas perihal ini. Beberapa cenderung ignore dan memasrahkan diri di tangan dokter dan pisau operasi tanpa berupaya untuk mencari ilmunya. Saya pun demikian awalnya. Istilah gentle birth saya temukan secara tidak sengaja ketika teman-teman lama di grup membahas tentang 'teknologi'apa yang mereka gunakan saat melahirkan. Salah satunya menyebutkan kalau dia memakai bius lokal di tulang belakang untuk mengurangi nyeri (duh lupa istilahnya apa). Yang lain menceritakan pengalaman induksi yang menyakitkan, dan sedihnya tidak berhasil sampai akhirnya harus caesar. Apakah memang melahirkan setraumatis itu? Perasaan dulu nenek kita fine fine aja saat melahirkan cuma dibantu didukun beranak di rumah. Bahkan budhe saya tidak sadar ketika kontraksi dan bayinya lahir waktu sedang memasak. Sebagai salah satu ibu baru, awalnya yang saya lakukan untuk menjamin kesehatan kehamilan saya adalah mencari dokter yang bagus, rumah sakit yang bagus, minum semua vitamin dari dokter, pokoknya mencari treatment medis yang paling OK. Waktu itupun informasi tentang kehamilan yang saya dapatkan hanya semata-mata apa makanan yang boleh dan tidak dan beberapa artikel tentang penyakit yang bikin makin parno dan cemas. Sampai akhirnya saya 'tersesat' pada blog yang menyebutkan tentang 'gentle birth'dan sampailah saya pada sebuah paradigma kehamilan dan melahirkan yang 'lama tapi baru'. Kenapa 'lama tapi baru''? Karena sepertinya konsep gentle birth ini ya proses hamil dan melahirkan senormal-normalnya yang sudah dilakukan nenek moyang kita sejak dulu. Sayangnya, cara pandang ini mulai luntur seiring dengan semakin pasrahnya bumil-bumil pada intervensi medis dan melupakan faktor penting dalam kehamilan dan melahirkan yaitu tubuhnya sendiri. Intinya, gentle birth ini ingin memberdayakan jiwa dan raga bumil seutuhnya untuk kehamilan yang happy dan kelahiran yang damai. Lalu bagaimana cara memberdayakan diri kita? Duh ini saya tulis sebagai orang awam yang baru belajar ya. Pertama memberdayakan jiwanya. Bumil jangan sampai stress dan harus selalu happy. Berbagai kata bijak pun selalu bilang kalau bahagia itu kita sendiri yang buat. Ketenangan jiwa bisa didapatkan dengan berbagai cara, misalnya meditasi dan afirmasi positif ke dedek bayi di dalam perut. Ajak pikiran kita memikirkan dan membayangkan yang baik-baik dan indah-indah. Ajak adek bayi bicara kalau kita sayang sama dia dan menunggu-nunggu kelahirannya. Intinya rileks dan ketenangan jiwa itu juga akan berbuah menjadi raga yang sehat. Untuk relaksasi saya sampai coba membeli minyak-minyakan a.k.a essential oil yang didaulat aman dan banyak kegunaannya untuk relaksasi. Hasilnya memang tidak instan, tetapi buat saya yang suka hirup-hirup bebauan minyak ini membantu banget (karena bumil kan gak boleh sembarangan hirup-hirup wewangian ya). Peppermint oilnya juga bisa meringankan pusing-pusing dan bikin hati adem. Dan memberdayakan raga ini nih yang menantang, secara saya sama si munyu sukanya guling-guling aja kalau weekend. Badan yang aktif adalah kunci kehamilan sehat dan melahirkan normal. Yang pertama jaga berat badan, secara saya makannya normal banget gak ada mual muntah jadinya makin subur deh. Ditambah orang-orang sekitar yang selalu bilang kalau bumil harus makan dua porsi lah dan boleh makan apa ajalah dan ibu-ibu kantor yang tiap hari selaluuu aja ada makanan tambahan. Kurangi makanan manis dan cemilan yang kurang sehat, tapi saya juga masih berjuang sih untuk itu hahaha. Lalu....beberapa ibu juga menunda untuk aktif sampai usia kandungan 7 bulan. Mneurut saya sudah sedikit telat sih kalau mulainya baru 7 bulan. Karena sebenarnya di awal trimester 2 pun si dedek sudah bisa diajak aktif untuk kehamilan yang normal. Beres-beres rumah harus tetep lanjut, jalan kaki harus dibiasain, dan harus mulai deh latian-latian yoga dan peregangan ringan. Emang susye bener untuk bisa rutin apalagi sehari-hari ada di kantor. Tapi tetap semangatt.. Posting berikutnya tentang kelas hypnobirthing yaa....

Minggu, 21 Februari 2016

My new milestone : Mother to be....

Alhamdulillah...Maha besar dan sempurna Allah yang telah mendengar doa dan permohonan ampun saya sampai akhirnya ada dua garis terlihat di testpack. Setelah satu tahun lebih menikah, awalnya saya memang menunda kehamilan dengan harapan akan lebih mapan dan nyaman setelah ke tempat tinggal dan tempat kerja yang baru. Saya awalnya berpikir mengandung akan semudah membalikkan telapak tangan, toh semuanya sudah otomatis diatur yang diatas. Tiga bulan berlalu sejak kami pertama kali berupaya mendapatkan momongan dan belum tampak hasil. Saya mulai cemas dan mencoba beberapa produk herbal, tapi hasilnya juga nihil. Sempat agak putus asa padahal baru mencoba tiga bulan hahaha. Yang membuat saya tambah cemas termasuk juga pertanyaan dari orang tua. Sampai ibu saya menyampaikan mungkin saya memiliki kesalahan dan dosa yang belum diampuni jadi baiknya saya sholat taubat, memohon ampun sedalam-dalamnya kepada yang kuasa. Awalnya saya agak terpukul, masak sih ada dosa saya sebesar itu sampai harus sholat taubat. Namanya manusia ya kalau bikin dosa suka gak sadar diri. Saya berusaha instropeksi dan ternyata bener ya..ada banyak sekali dosa yang telah saya perbuat. Saya mohon ampun dan setelah itu berpasrah kepada Allah, apapun keputusan-Nya saya yakini itu yang terbaik. Satu surat yang saya baca dalam perjalanan di stasiun (lupa surat apa ayat berapa) kira-kira berbunyi bila Alah tidak mengampuni dosa-dosamu lalu seperti apa jadinya kamu. Langsung saya nangis berderai di stasiun teringat dosa-dosa. Satu bulan berlalu setelah itu dan tamu bulanan belum juga tiba. Gak mau ngarep.com saya menunggu sampai satu minggu sebelum tespek. Perasaan ini tidak bisa digambarkan dengan kata-kata ketika dua garis itu muncul. Gemetar, senang, terharu, takut kalau hasilnya ternyata tidak akurat. Dan...ketika ke dokterpun belum terlihat kantong kehamilannya jadi bikin makin galau. Beli tespek lagi yang agak mahalan dan alhamdulillah hasilnya masih positif. Galaupun masih berlanjut ketika harus milih dokter obgyn. Kantor si munyu biasanya di priuk, tapi kok rasanya kejauhan. Mau ke dr. Lina di Mitra bekasi ternyata waktu ditelpon aktrinya udah 40 orang. Makin ciut deh. Nyari-nyari dokter obgyn cewek yang praktek weekend, ramah, gak buru-buru, duh rasanya susye banget. Alhamdulillah si munyu dapat referensi namanya dokter Triskawati Indang di Hermina Bekasi. Setelah 3 minggu coba cek hamil disana dan alhamdulillah sudah kelihatan kantung dan denyutnya waaa..senangnya. So far dokternya baik, gak pernah nakut-nakutin, bahkan waktu minta ijin travelling di trimester awal dibolehin. Berlanjut lagi yaaa nanti ceritanya.....

Minggu, 17 Januari 2016

Maafkanlah dan biarkanlah

Tulisan kali ini terinsipirasi dari bacaan tadi pagi QS Al Maidah ayat 13 "Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya [407], dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." Memang ada banyak ayat tentang perang, tetapi sungguh ayat diataslah yang menunjukkan perilaku Nabi Muhammad SAW (peace upon him) yang tidak menunjukkan sikap bermusuhan kepada mereka yang bukan pengikutnya. Jangankan membunuh, Nabi justru tidak pernah membalas ketika beliau diludahi bahkan berbuat baik kepada pengemis buta yang selalu menjelek-jelekkan beliau. Mungkin Nabi Muhammad akan sangat sedih melihat umatnya menghalalkan pembunuhan atas nama kejayaan agama seperti yang terjadi di ring 1 Jakarta beberapa hari lalu. Demi apa, untuk siapa? Itulah yang terlintas di pikiran saya. Dalam Al Quran disebutkan Allah tidak membutuhkan apapun di alam semesta ini, bahkan ketika kita tidak menyembahnya pun tidak akan mengurangi ke-Agungan-Nya barang sedikit pun. Maka biarkanlah dan maafkanlah..kepada siapa saja. Kepada kapitalis, pemilik restoran fast food, oil and gas internasional, siapapun yang mungkin tidak sama keyakinananya dengan kita. Karena sepulangnya kita akan membawa amal masing-masing dan dihisab sesuai amal perbuatan kita. Dan berbuat baiklah.

Rabu, 29 Juli 2015

Why government institutions remain backward?

Everytime we turn on TV and looking for harmless program, we end up watching TVRI, Indonesian public TV, which owned by government. Nevertheless, my hubby always complain of TVRI poor quality in term of videography and creativity of the program itself. Eventough I think they made some progress compare to last decade (wkwkwkw), he says that TVRI program looks dull, just like TV program one or two decade backwards. In the era of modern videography with the latest technology, it remains 'traditional' in somehow negative means. I say that TVRI nature is showing 'healthy' program which mostly infamous because they have to obey the holy rule to show only good thing to the people. But health progra, does not neccessarily pack with old camera and mediocre director. So why it remains backward? After moving from private company to public institution, I began to realize that money is the golden goal to keep an institution stay productive. Maybe this is the possible answer, why TVRI remain same since Soeharto era is because they are non-profit institution. They do not have any profit target to be achieved this year so why you bother to make a good program and attain viewer when you do not need advertiser. It occurs exactly same here, I almost have nothing to do for the last two weeks. I go to work to write blog, watch youtube, read comic online, or just chat with friends. What a dream job! But its boring, indeed. Everybody also seems very relax, chatting and laughing. It is because we do not have target how much we should earn this year. We can't deny that money becomes the core motivation that energize human productivity especially organization. It's not that money is everything but without money today we can do nothing. It reminds me of Hirschman, if I' m not mistakenly pick wrong philosopher, who says that today capitalism is soft power that harness human lust which previously turn out to be war. So he says capitalism is good cause it keep our world today peaceful (in term of negative peace). But, should public institution become profit oriented to keep them productive? Not 100%, but at least they should set a certain target that maybe can be calculated with money. Extra credit also should be given for them who can save more than spend. I think what our public institution lack of is clear goal and vision.

Rabu, 13 Mei 2015

Bicara tentang keikhlasan menjadi istri

Sekilas tugas menjadi istri terdengar mudah. Well cuma ikuti apa kata suami. Gampang kan ya. Itu yang terlintas di benak saya sebelum menikah. Bicara pengabdian dan keihlasan sekarang ternyata tak semudah prakteknya. Alkisah saya dan suami saat ini dalam proses pindahan dan merenovasi rumah. Rumah yang beli suami biaya renovasi juga dia biaya beli semua isi rumah juga sebagian besar dia. Ya teorinya semua yang punya dia juga punya saya. Tapi tetap saja tidak semudah itu. Sebagai bread winner dan main founder tentu suara suami lah yang suaranya paling harus didengar. Disitu kadang saya merasa......powerless. Mungkin kondisinya akan berbeda kalau saya datang dari kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Tapi somehow pendidikan membuat ego saya menjadi lebih tinggi. Disitulah 'nrimo' itu menjadi sesuatu yang berat. Saya seolah tidak punya suara, tidak ada hak untuk menentukan apapun. Oh begini ya rasanya. Tapi bahtera ini harus tetap saya jaga. Agar tidak goyah maka seseorang harus mengalah. Harus lebih banyak diam. Dan disinilah saya berusaha untuk menerima dan diam. Mungkin karena inilah Allah mengirim saya untuk diklat di tempat yang jauh dalam waktu yg agak lama. Biar bisa refleksi diri dan mengurangi konflik. Meredam ego dan mengalah.

Senin, 16 Maret 2015

Small but Expensive, Baby Apparel

Everytime I visit baby's section in store, I amaze with the cuteness and...the price. How does the very small outfit cost more expensive than adult outfit. I found the answer when I participated in workshop about product safety for those who want to sell apparel particularly for baby and children to the US. There are several requirements that has to be fulfilled to ensure the safety of baby apparel. These standart also adopted to Indonesian national standard for baby apparel. First, the material should contain tin no more than 100 ppm. It also applies for accesories attach on the outfit. Second, the material should be anti flame or wont be burnt in certain degree to ensure it will be burn if only small fire catch it. Third, the tie or any kind of string shoould not be placed around the head. The string should be replaced with kind a button or zipper to attach both part. The string should not also place on the waist part cause it may danger the kids if its binded by school bus door. The outfit also should not contain any small accesories that can be possibly eaten by the kids. Those requirements are just a simple summary, there are a lot more if you refers to the real standart. Visit cpsc.org for US standart or bsn.go.id for Indonesian standart. Baby is indeed high maintenance creature.
#tradeinsight

Minggu, 15 Maret 2015

Why Indonesian Chocolate is Infamous?

As long as I know, Indonesia is the third biggest cocoa producer all over the world with 720 thousands ton cocoa a year. Sadly, most of premium chocolate I found at store coming from Switzerland and even Ghana. So, where does Indonesian chocolate goes? We know that each country has their own soil structure that cause a different taste on their agriculture products mainly for beverages such as tea, coffee, and chocolate. Indonesian chocolate, because of its soil components, has a bit sour taste. This taste is not prefereable for most market, but some of them like it such as Germany. The problem with Indonesian cocoa occurs during its drying process. Ghana chocolate is being fermented before it dried under the sun. The fermenting pricess is quite critical because it may create a favorable taste and flavor. This process took from 4-5 days. So why Indonesian farmers neglect it? Fermented or non fermented cocoa seed lie on the same price, so it is not beneficial for farmers to delay 4-5 days when they can just dry and sell it. The fermenting step also allow cocoa membrane release so that it result a clean seed with less fungus and bacteria. They may damage cocoa seed too during shipping process cause bad quality cocoa seed. Indonesia did export the cocoa seeds for example to Japan and the US. However, due to its bad quality, it ends up into animal food. That's a sad fact.