Jumat, 13 April 2012

Krisis Kemanusiaan di Korea Utara

Sewaktu saya akan berangkat ke Korea untuk melanjutkan studi, beberapa orang bertanya, ke Korea Utara atau Selatan? Pertanyaan ini terdengar janggal, karena tidak mungkin kita bisa pergi ke Korea utara dengan mudah karena ketertutupan hubungan diplomatik negara tersebut. Namun, hal itu menyadarkan saya betapa mungkin perhatian kita hanya tertuju pada krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestine atau negara Timur Tengah lainnya, dan kemudian mengabaikan yang terjadi di belahan bumi lain, salah satunya di Korea Utara.

Kalau ditanya tentang Korea Utara, apa yang terlintas di benak Anda? Mungkin karena saudaranya di Selatan telah meraih popularitas secara global, kita secara sederhana menyimpulkan bahwa kedua Korea pastilah mirip-mirip kondisinya. Atau mungkin kebanyakan bahkan tidak ada ide sama sekali tentang apa dan bagaimana Korea Utara itu. Mungkin tulisan ini bukan paper ilmiah, tapi saya harap mampu memberikan sedikit gambaran.

Beberapa minggu lalu saya menonton film berjudul Seoul Train. Film itu berkisah tentang pengungsi dari Korea Utara yang berjuang untuk melewati China, untuk pergi ke Korea Selatan. Ini bukan hal mudah karena pemerintah China akan mengembalikan mereka ke Utara jika mereka tertangkap. Lalu mengapa mereka perlu melarikan diri dari negaranya? Disebut bahwa Korea Utara saat ini adalah penjara terbesar bagi umat manusia. Masyarakatnya hidup dalam kondisi sangat memprihatinkan dan selalu dalam ketakutan. Memprihatinkan karena banyak kasus kelaparan dan tidak tercukupinya kebutuhan pokok disana. Ketakutan karena mereka bisa dibunuh atau dikirim ke camp pekerja kapan saja, bila mereka dianggap sebagai musuh rezim. Yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa tidak banyak yang tahu atau bahkan peduli bahwa masyarakat di Korea Utara juga tengah sekarat.Mereka hidup dalam negara yang berdaulat, tetapi bahkan harus berjuang untuk dapat sekedar bertahan hidup. Saya tidak ingin membahas ini salah siapa, karena sudah jelas orangnya. Juga tidak ingin membahas penyelesaiannya, karena permasalahan hanya dapat dituntaskan jika rezim tumbang. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ada kasus kelaparan, perbudakan,dan pencabutan hak asasi manusia di tempat yang sekiranya selalu luput dari perhatian kita.

Menyebut sedikit bahan bacaan dari Peter Singer dalam artikelnya "Famine, Affluence, and Morality", bukan masalah jarak yang kemudian membuat kita merasa tidak bertanggung jawab. Kita seringkali berpikiran, tolonglah yang lebih dekat dulu, kemudian baru yang jauh. Bila tidak menolong yang jauh pun tidak masalah. Menurut Singer, sudah menjadi tanggung jawab kitalah untuk mencegah segala macam hal buruk terjadi, dalam kapasitas individu maupun negara, dengan tidak melihat dimana orang yang akan kita tolong.